Antrean panjang dan prosedur rumit acap kali menjadi pengalaman sehari-hari bagi masyarakat Indonesia yang membutuhkan pelayanan publik dasar, mulai dari mengurus dokumen kependudukan hingga layanan kesehatan. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan ketidaknyamanan, tetapi juga berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap efektivitas birokrasi. *kumparan
Data Statistik: Pelayanan Publik di Indonesia
Menurut data Ombudsman RI yang dihimpun melalui aplikasi SIMPeL 4, sepanjang triwulan ketiga tahun 2025, ribuan laporan dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik masuk ke Ombudsman RI Pusat. Laporan tersebut meliputi berbagai kasus seperti penyimpangan prosedur, lambatnya pelayanan, hingga ketidaksesuaian penanganan aduan masyarakat. Rendahnya kepatuhan terhadap standar pelayanan menjadi penyebab menurunnya kualitas layanan di berbagai instansi. *ombudsman
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) juga rutin melakukan survei kepuasan dan penilaian masyarakat terhadap pelayanan publik. Hasil survei tahun 2025 menunjukkan keluhan utama masyarakat adalah waktu tunggu yang panjang dan prosedur yang tidak efisien di banyak kantor layanan publik, dengan lebih dari 30% responden menyebut mereka harus antre lebih dari dua jam untuk pelayanan dasar. *kabarkata
Apa Kata Warga: "Tiap Mengurus, Selalu Antre Panjang"
Wardi (32), warga Bekasi, bercerita soal pengalamannya mengurus dokumen kependudukan di kantor kecamatan. “Saya datang dari jam delapan pagi, baru dilayani jam sebelas siang. Prosedurnya banyak, belum lagi harus bolak-balik karena dokumen dianggap kurang lengkap,” tuturnya. Ia juga mengungkapkan hampir semua keperluan di kantor pemerintah memerlukan waktu antre minimal satu hingga tiga jam, terutama saat layanan publik sedang ramai.
Hal senada disampaikan oleh Siti Nuraini (45), pekerja swasta. “Sering pegawai saling melempar tanggung jawab, kami sebagai masyarakat malah tidak dapat kepastian. Bagi yang bekerja dan harus izin, antrean ini sangat merugikan. Semestinya bisa dipercepat dengan layanan berbasis digital, tapi nyatanya tidak semua instansi sudah siap,” ungkapnya. *repository.uin-suska
Tanggapan Pejabat: Upaya Perbaikan dan Tantangan Digitalisasi
Akik Dwi Suharto, Sekretaris Deputi Bidang Pelayanan Publik Kementerian PANRB, mengungkapkan bahwa tahun 2025 pemerintah memperkuat evaluasi kinerja pelayanan publik melalui lima desain pelayanan prima, termasuk akselerasi digitalisasi, inklusi, dan aksesbilitas. "Evaluasi kinerja ini adalah wujud nyata negara dalam melayani dan memperbaiki tata kelola birokrasi agar lebih responsif," ujarnya dalam Kick Off Meeting Implementasi Kebijakan Pelayanan Publik. Data per 1 September 2025, sudah ada 93 kementerian/lembaga yang menjadi unit lokus evaluasi dengan standar indikator terbaru, dari 30 indikator menjadi 17 indikator, meliputi aksesibilitas, inklusivitas, partisipasi publik, dan efektivitas pemerintah. *menpan
Bupati Bengkalis, lewat sambutan tertulis, menegaskan perlunya penyusunan dan penerapan standar pelayanan yang transparan, partisipatif, akuntabel, berkelanjutan, dan berkeadilan. “Kegiatan peningkatan penyelenggaraan pelayanan publik harus menghasilkan layanan yang mudah, cepat, terjangkau, dan setara kepada masyarakat,” katanya, dengan harapan sinergi antar perangkat daerah dapat berujung pada sistem pelayanan mandiri yang lebih optimal. *prokopim.bengkaliskab
Analisis Kebijakan: Regulasi dan Realitas di Lapangan
Pelayanan publik di Indonesia diatur oleh Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang mewajibkan setiap penyelenggara layanan publik menetapkan dan menerapkan standar pelayanan sebagai tolok ukur mutlak kualitas layanan. Standar tersebut minimal mencakup 14 komponen, mulai dari sistem dan mekanisme, waktu penyelesaian, hingga kompetensi pelaksana dan penanganan pengaduan. *sembaridinas
Namun, data Ombudsman RI menunjukkan penerapan regulasi kerap hanya menjadi formalitas di sebagian instansi. Penilaian kepatuhan masih rendah dan penyimpangan prosedur masih marak ditemukan, terbukti dari banyaknya laporan maladministrasi. Standardisasi yang seharusnya menjadi pondasi birokrasi belum sepenuhnya diimplementasikan konsisten di semua level pemerintahan. *sembaridinas
Selain itu, upaya transformasi digital melalui kanal aduan seperti LAPOR!, Suara Warga, dan layanan media sosial memang menjadi tren, tetapi belum diterapkan optimal di tingkat pelayanan dasar. Respons lambat atas aduan di platform digital kerap dikeluhkan masyarakat. Di sisi lain, pemerintah berkomitmen mengembangkan inovasi berbasis digital untuk penanganan kasus mendesak (disabilitas, lansia, sakit) dengan pengiriman petugas ke lokasi. *ejurnal3.undip
Implikasi dan Tantangan Ke Depan
Penerapan kebijakan dan transformasi digital memang telah menjadi agenda strategis pemerintah. Namun, tantangan terbesar adalah merubah mindset birokrat agar benar-benar mengedepankan pelayanan, pelatihan digital pegawai, serta integrasi sistem yang mampu mengurangi antrean fisik dan mempercepat seluruh prosedur.
Masyarakat berharap pemerintah tidak hanya sekadar mengejar indikator, tapi betul-betul memperbaiki kualitas layanan sampai ke akar rumput, termasuk optimalisasi layanan online secara real time, sehingga tidak ada lagi "antrean berjam-jam" yang merugikan masyarakat bekerja dan beraktivitas. Jika negara-negara lain telah sukses dengan digital bureaucracy, Indonesia sudah saatnya mewujudkan pelayanan publik yang responsif dan transparan. *kumparan



