Hak memperoleh pendidikan merupakan hak konstitusional setiap warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan ditegaskan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun, di banyak wilayah terpencil, terluar, dan tertinggal (3T) di Indonesia, hak ini belum sepenuhnya terpenuhi secara merata. *setneg
Ketimpangan Akses dan Tantangan Lapangan
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat bahwa masih ada ribuan sekolah di wilayah 3T yang menghadapi kekurangan guru, keterbatasan infrastruktur, dan minimnya akses teknologi. Berdasarkan data BPS dan Komisi X DPR RI dalam Rapat Dengar Pendapat terbarunya, sekitar 5.681 sekolah di wilayah 3T belum memiliki akses internet memadai, sementara 1.625 sekolah belum teraliri listrik stabil. *tempo
Di lapangan, kondisi geografis menjadi hambatan paling sering ditemui. Banyak sekolah di Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Kepulauan Maluku terletak jauh dari pusat kota, rata-rata hingga 150 kilometer dari ibu kota kabupaten. Sebagian besar hanya dapat diakses lewat jalur laut atau sungai, sehingga proses distribusi logistik pendidikan sering kali terhambat, termasuk pengiriman bahan ajar dan modul pembelajaran.
Data Statistik Sekolah di Wilayah Terluar
Laporan Pusat Data dan Statistik Pendidikan menunjukkan bahwa rasio guru di wilayah terluar Indonesia masih jauh di bawah rata-rata nasional. Rata-rata rasio guru per sekolah nasional sebesar 18,41, sementara di kabupaten seperti Lanny Jaya hanya sekitar 5,8 guru per sekolah. Angka partisipasi kasar (APK) untuk wilayah terluar seperti Jayapura tercatat sekitar 79,6%, namun menurun drastis di daerah tertinggal seperti Intan Jaya yang hanya mencapai 47,9%. *garuda.kemdikbud
Selain itu, penelitian tahun 2025 oleh Universitas Gadjah Mada menegaskan bahwa ketimpangan akses pendidikan di wilayah terpencil dapat dianggap sebagai pelanggaran prinsip non-diskriminasi dalam Hak Asasi Manusia. Sebab, kurangnya akses terhadap pendidikan di wilayah ini berkontribusi pada rendahnya kualitas hidup dan memperlebar kesenjangan sosial antarwilayah.
Apa kata Pakar Pendidikan
Dr. Rahmatul Hasanah, pakar kebijakan pendidikan dari Universitas Gadjah Mada, menegaskan bahwa pemerintah harus memperlakukan akses pendidikan di daerah 3T sebagai isu keadilan sosial, bukan sekadar pemerataan layanan. Menurutnya, “Ketimpangan pendidikan di daerah terpencil bukan hanya soal fasilitas, tapi juga soal kepercayaan sosial. Banyak masyarakat yang belum menganggap pendidikan sebagai kebutuhan dasar, sehingga peran budaya lokal harus diintegrasikan dalam kurikulum.”
Sementara itu, Direktur Pembinaan SMA Kemendikdasmen, Gogot Suharwoto, dalam forum Panja Pendidikan di DPR RI pada Juli 2025 menyebut bahwa pemerintah telah mengalokasikan sekitar Rp2 triliun untuk revitalisasi 1.623 sekolah di daerah 3T. Langkah tersebut mencakup penyediaan internet satelit, panel surya, pembangunan sekolah baru, serta peningkatan kapasitas guru berbasis literasi digital. *tempo
Kebijakan Pemerintah dan Regulasi
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan sejumlah kebijakan strategis yang diarahkan untuk memperluas pemerataan akses pendidikan di daerah 3T. Beberapa di antaranya meliputi:
- Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2025 tentang percepatan digitalisasi pembelajaran nasional, mencakup integrasi internet berbasis satelit untuk sekolah 3T.
- Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025 tentang Program Sekolah Rakyat, yang memperluas partisipasi masyarakat dalam mendirikan dan mengelola sekolah alternatif di daerah pedalaman.
- Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan 2025, yang memprioritaskan pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) di 121 kabupaten terpencil di timur Indonesia.
Namun, sejumlah pengamat menilai bahwa meskipun kebijakan sudah ada, implementasinya masih sering terbentur pada tata kelola anggaran, distribusi tenaga pengajar, dan kurangnya monitoring di lapangan.
Implementasi di Lapangan
Di wilayah Papua bagian pegunungan, misalnya, hampir separuh anak usia lima tahun ke atas belum pernah menempuh pendidikan formal. Faktor geografis, kondisi sosial-ekonomi, dan minimnya tenaga pengajar menjadi penyebab utama. Berdasarkan survei yang dilakukan pada tahun 2025, hanya 29% sekolah di wilayah tersebut yang terhubung dengan jaringan listrik, dan hanya 17% memiliki akses internet.
Untuk menanggulangi hal itu, Kemendikbudristek bersama Kementerian Kominfo dan PT Satelit Nusantara Tiga sedang menyiapkan layanan internet berbasis satelit multifungsi, termasuk sistem manajemen pembelajaran digital (Learning Management System) yang dapat diakses secara offline untuk daerah tanpa sinyal. *tempo
Refleksi dan Rekomendasi
Pemenuhan hak pendidikan di wilayah terpencil tidak bisa mengandalkan pendekatan seragam (uniform policy). Setiap daerah memiliki karakteristik sosial dan geografis berbeda, yang menuntut kebijakan berbasis lokal. Pemerintah perlu memperkuat sinergi lintas kementerian, termasuk Kementerian Desa, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Kominfo untuk menjamin baik ketersediaan infrastruktur maupun pemberdayaan sumber daya manusia.
Dr. Hasanah menyarankan pembentukan “korps guru daerah khusus” dengan insentif jangka panjang dan jalur karier khusus, agar guru bersedia ditempatkan di daerah sulit dalam waktu lebih lama. Selain itu, perguruan tinggi dan organisasi masyarakat sipil dapat dilibatkan dalam program mentoring daring dan pertukaran pengetahuan antara sekolah perkotaan dan 3T.
Pada akhirnya, pemerataan pendidikan di daerah terpencil tidak sekadar persoalan pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan nilai dan kesetaraan. Negara wajib hadir bukan hanya melalui kehadiran bangunan sekolah, tetapi juga memastikan setiap anak — di pulau terluar sekalipun — memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang menjadi generasi yang berdaya.

