Kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masih menunjukkan tren yang memprihatinkan. Berdasarkan data Komnas Perempuan melalui Catatan Tahunan (CATAHU) 2025, terdapat 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2024, naik hampir 10% dari tahun sebelumnya. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) per Juli 2025 mencatat 14.039 laporan kasus baru, yang meningkat lebih dari 2.000 kasus hanya dalam waktu 17 hari. Kenaikan ini menjadi tanda bahwa kekerasan berbasis gender masih menjadi krisis nasional yang harus ditangani secara sistematis.*kumparan
Bentuk Kekerasan yang Meningkat
Bentuk kekerasan terhadap perempuan sangat beragam. Kasus tertinggi masih didominasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), diikuti oleh kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender online. Komnas Perempuan mencatat peningkatan 40,8% pada kekerasan berbasis gender online (KBGO) — seperti pelecehan digital, ancaman daring, dan penyebaran konten privat tanpa izin. Fenomena ini mencerminkan pergeseran bentuk kekerasan yang kini banyak terjadi di ruang digital seiring dengan meningkatnya aktivitas online masyarakat Indonesia. *kumparan
Respons Pemerintah
Pemerintah mengakui besarnya tantangan dalam menangani kasus-kasus tersebut. Menteri PPPA Arifah Fauzi menyatakan bahwa angka yang tercatat kemungkinan belum mencerminkan realitas di lapangan karena “banyak korban belum berani melapor dan masih belum merasa aman untuk bersuara”. Menurutnya, pemerintah tengah memperkuat Gerakan Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (GN-AKPA) yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga untuk mempercepat pencegahan, perlindungan, dan pemulihan korban. Selain itu, Rencana Aksi Nasional (RAN) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) telah disiapkan untuk memastikan program perlindungan terintegrasi hingga ke tingkat daerah. *kemenkopmk
Aktivis dan Suara Korban
Aktivis perempuan juga terus menjadi garda depan dalam memperjuangkan hak-hak korban. Velmariri Bambari, aktivis dari Institut Mosintuwu Poso, menegaskan bahwa “perempuan dan anak sangat rentan terhadap pelecehan dan kekerasan seksual, dan sinergi antara lembaga masyarakat dan kepolisian merupakan hal yang sangat penting untuk memastikan keadilan bagi korban”. Sementara itu, Ririn Sefsani, aktivis dari Suara Ibu Indonesia, dalam wawancaranya pada Oktober 2025, menyoroti pentingnya kebijakan perlindungan sosial yang sensitif gender serta memastikan setiap program pemerintah tidak menambah beban diskriminatif terhadap perempuan. *tribunnews
Langkah Lembaga HAM
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memiliki peran strategis dalam pemantauan dan advokasi. Lembaga ini menjalankan Tim Respon Cepat (TRC) untuk memantau peristiwa kekerasan, menerima pengaduan, dan memberikan dukungan pemulihan awal bagi korban. Berdasarkan mandat Peraturan Presiden (Perpres) No. 8 Tahun 2024, Komnas Perempuan juga memberikan saran kepada pemerintah untuk memperkuat regulasi hukum yang berpihak pada korban. *komnasperempuan
Selain itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ikut mengawasi pelaksanaan hak-hak korban dan penegakan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang telah berlaku sejak 2022. Kolaborasi kedua lembaga ini menjadi tulang punggung dalam memastikan kebijakan publik mengutamakan perspektif korban.
Kebijakan dan Regulasi
Landasan hukum yang berlaku mencakup Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang menjadi tonggak penting perlindungan perempuan dari kekerasan seksual. Selain itu, regulasi pelaksana seperti Peraturan Menteri PPPA No. 1 Tahun 2025 mulai mengatur perlindungan pekerja perempuan, penanggulangan perdagangan orang, serta perlindungan di ruang publik. Pemerintah juga sedang memperkuat harmonisasi hukum antara UU TPKS, KUHP, dan UU ITE agar tidak ada celah hukum yang menghambat perlindungan perempuan korban kekerasan. *komnasperempuan
Menurut Lisa Handayani, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemenko PMK, “tantangan ke depan adalah memastikan implementasi yang efektif di level daerah dan memastikan pemulihan korban mencakup aspek hukum, psikologis, hingga sosial”. *kemenkopmk
Tantangan Implementasi
Meski kerangka hukum sudah cukup komprehensif, implementasinya di lapangan masih jauh dari harapan. Minimnya anggaran daerah, lemahnya kapasitas aparat penegak hukum dalam memahami perspektif korban, serta stigma sosial yang menekan perempuan korban membuat banyak kasus tidak tuntas atau tidak dilaporkan sama sekali. Selain itu, mekanisme layanan terpadu berbasis gender belum merata di seluruh Indonesia, terutama di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
Harapan ke Depan
Upaya pemberantasan kekerasan terhadap perempuan membutuhkan sinergi antara negara, masyarakat, dan individu. Para aktivis menekankan pentingnya pendidikan publik tentang kesetaraan gender dan budaya anti kekerasan, sementara lembaga pemerintah menyiapkan sistem pelaporan yang lebih aman dan inklusif. Pemerintah juga sedang menyiapkan Inpres tentang Gerakan Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, yang disebut sebagai upaya darurat nasional untuk mengatasi krisis ini secara lintas sektor.
Jika seluruh kebijakan ini dijalankan secara konsisten dan berorientasi pada pemulihan korban, Indonesia setidaknya dapat melangkah lebih dekat menuju masyarakat yang benar-benar adil gender dan bebas dari kekerasan. Namun, hingga saat ini, data yang terus meningkat menjadi pengingat bahwa perjuangan belum selesai — bahwa perlindungan terhadap perempuan masih membutuhkan tindakan nyata, bukan hanya komitmen di atas kertas.

