Ketika pemerintah mengumumkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) menurun, tampaknya ekonomi Indonesia sedang membaik. Namun, di balik angka statistik yang menenangkan itu, tersimpan realitas lain: melonjaknya jumlah pekerja di sektor informal. Fenomena ini, oleh sejumlah ekonom disebut sebagai "ilusi lapangan kerja," di mana peningkatan penyerapan tenaga kerja tidak serta-merta mencerminkan kualitas pekerjaan yang layak. *dw
Lonjakan Sektor Informal
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Februari 2025 terdapat sekitar 86,58 juta pekerja di sektor informal atau 59,40 persen dari total penduduk bekerja. Angka itu naik dari 57,95 persen pada Agustus 2024, menunjukkan bahwa sektor informal terus tumbuh lebih cepat daripada sektor formal. Dari 145,7 juta tenaga kerja Indonesia, 2,45 juta orang baru bergabung ke sektor informal dalam setahun terakhir, sementara hanya 1,14 juta yang masuk ke sektor formal.
Ekonom HSBC Global Research, Pranjul Bhandari, menyebut sektor informal sebagai salah satu motor pertumbuhan ekonomi yang menopang konsumsi domestik hingga 55 persen dan menyerap 60 persen lapangan kerja nasional. Namun, ia mengingatkan bahwa ketergantungan yang berlebihan terhadap sektor ini menandakan kelemahan dalam penciptaan pekerjaan formal yang produktif. *cnnindonesia
Antara Penyelamat dan Penjebak
Dr. Hempri Suyatna, dosen dan peneliti sosial ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), melihat dua sisi dari pertumbuhan ini. “Sektor informal jelas menjadi penyelamat di tengah terbatasnya lapangan kerja formal. Namun, pada saat yang sama, ini juga menjadi jebakan karena pekerjanya tidak memiliki perlindungan sosial dan jaminan pendapatan yang stabil,” ujarnya.
Sementara itu, menurut data BPS, sebagian besar pekerja informal berstatus berusaha sendiri atau bekerja dibantu buruh tidak tetap, tanpa kontrak formal maupun jaminan sosial. Mereka tersebar di sektor perdagangan eceran, industri pangan rumahan, jasa transportasi daring, dan usaha mikro lainnya. Di satu sisi, sektor ini menumbuhkan daya beli masyarakat menengah-bawah, tetapi di sisi lain memperlebar kesenjangan produktivitas nasional.
Perspektif Pemerintah
Kepala BPS Amelia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers nasional menegaskan bahwa peningkatan pekerja informal disebabkan oleh meluasnya lapangan usaha skala kecil dan meningkatnya partisipasi perempuan di sektor perdagangan eceran. Namun, ia juga mengakui bahwa mayoritas pekerja ini tidak terlindungi oleh sistem ketenagakerjaan formal seperti BPJS Ketenagakerjaan maupun jaminan pensiun. *antaranews
Pemerintah berupaya menjawab tantangan tersebut. Melalui Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), arah baru kebijakan sektor informal tengah digodok dengan fokus pada digitalisasi usaha mikro, peningkatan keterampilan, serta akses terhadap pembiayaan. Sementara itu, Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama awal tahun ini juga mendesak pemerintah agar segera menyusun skema BPJS Ketenagakerjaan khusus bagi pekerja informal.
Tantangan Perlindungan Sosial
Ketiadaan perlindungan sosial tetap menjadi kelemahan besar. Hingga kini, hanya sebagian kecil pekerja informal yang terdaftar dalam program jaminan sosial atau dana pensiun. Padahal, menurut Bank Dunia, melonjaknya informalitas di Indonesia berisiko memunculkan “kemiskinan kelas menengah,” yaitu kondisi di mana pekerja tampak produktif tetapi rentan secara finansial karena tidak memiliki perlindungan jangka panjang. *cnbcindonesia
Selain itu, kontribusi pajak dari sektor informal praktis rendah karena minimnya registrasi usaha dan tata kelola ekonomi bayangan. Hal ini membuat pemerintah sulit memperluas basis pendapatan negara, padahal anggaran untuk perlindungan sosial terus meningkat setiap tahun.
Dampak Ekonomi dan Sosial
Pertumbuhan sektor informal sebenarnya memiliki peran strategis dalam mempertahankan konsumsi domestik. Pada kuartal II 2025, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,12 persen secara tahunan (year-on-year), sebagian besar didorong oleh aktivitas di sektor informal. Konsumsi rumah tangga tetap kuat berkat daya beli kelompok pekerja mikro, terutama setelah penurunan inflasi akibat stabilnya harga pangan.
Tetapi di balik dinamika positif itu, muncul tanda bahaya: kenaikan pekerja informal sering berjalan beriringan dengan kemerosotan kualitas pekerjaan formal. Menurut laporan DPR RI, pekerjaan informal masih didominasi oleh perempuan (64,25 persen) yang rentan terhadap eksploitasi, kekerasan ekonomi, dan ketidakamanan kerja.
Analisis Kebijakan
Beragam kebijakan pemerintah telah diluncurkan, mulai dari Kredit Usaha Rakyat (KUR), pelatihan wirausaha mikro, hingga digitalisasi UMKM. Namun, implementasi di lapangan sering tidak merata dan kurang menjangkau kelompok paling rentan di sektor ini. Pemanfaatan teknologi digital seperti e-commerce dan platform keuangan daring memang membantu sebagian pelaku usaha informal naik kelas, namun bagi banyak lainnya masih menjadi tantangan karena keterbatasan literasi dan infrastruktur.
Ekonom independen dari LPEM FEB UI, Lia Hapsari, menilai bahwa tanpa upaya formalisasi bertahap yang disertai insentif, sektor informal hanya akan terus berkembang secara horizontal—menambah jumlah pekerja rendah upah tanpa peningkatan produktivitas. Ia menekankan pentingnya pendekatan yang memadukan perlindungan sosial, pendidikan vokasional, dan pembinaan usaha mikro lokal agar informalitas menjadi batu loncatan, bukan jebakan permanen. *lpem
Kesimpulan
Realitas ketenagakerjaan Indonesia tahun 2025 memperlihatkan paradoks. Di satu sisi, melonjaknya pekerja informal menunjukkan daya adaptasi masyarakat terhadap tekanan ekonomi. Di sisi lain, ini menyingkap rapuhnya fondasi struktur kerja nasional yang masih bertumpu pada sektor tanpa perlindungan dan kepastian hukum. Seperti disampaikan Hempri Suyatna, “Indonesia harus berhenti memandang sektor informal hanya sebagai penopang. Ia harus diintegrasikan ke dalam sistem ekonomi formal secara inklusif.”.
Tanpa kebijakan strategis yang mengubah arah pembangunan tenaga kerja, ledakan sektor informal hanya akan memperluas bayangan kemiskinan baru—membentuk ilusi lapangan kerja yang sekilas tampak produktif, namun sesungguhnya rapuh di pondasi, jauh dari kesejahteraan yang sejati.



